BANTUL, jogja.expost.co.id -- Surya sakethi adalah sebuah kelompok Ritus Mantra Nusantara. Komunitas lepas, merdeka dan tidak mengikat. Didirikan oleh Eko Hand pada akhir 2018 silam. Sekarang ini, Komunitas Ritus Mantra Nusantara ini dikukuhkan dengan nama Ritus Surya Sakethi. Yang digawangi oleh Eko Hand, Ki Supriyadi Sapta Atmadja, Ki Hangno Hartono dan Nyai Rika Astika.
“Pada kesempatan ini, Surya Sakethi berkolaborasi dengan Iwan Wijono dan Kelompok Musik Sedulur Papat,” ungkap Eko Hand kepada awak media Jogja Expost.
Surya Sakethi mendapat kesempatan tampil membuka acara Gelar Sastra Bantul 2024 yang mengusung tema Damai Sejuk dalam Sastra, yang digelar pada hari Sabtu, 30 November 2024, bertempat di Lapangan Taman Kuliner Imogiri, Jl. Makam Raja, Salaman, Karangtalun, Imogiri, Bantul, D.I. Yogyakarta 55782.
Surya Sakethi sendiri dalam penampilan kali ini mengangkat tema pencerahan. Eko Hand melakukan mantra untuk merepresentasikan kehadiran empat unsur semesta dan dihias cantik oleh lirik kidung dan gurit Ki Supriyadi Sapta Atmadja yang menarasikan peristiwa sosial yang lokal dan nasional saat ini.
“Alunan musik dari Sedulur Papat terdengar sangat wingit dan narasi Ki Supriadi semakin melarutkan saya pada kedalaman mantra-mantra harapan pencerahan. Pencerahan sukma, pencerahan jiwa, pencerahan pikiran dan pencerahan raga (pancaindra). Dalam penglihatan saya muncul pusaran besar berwarna hijau lumut, ungu cerah dan sedikit putih terang di atas tenda VVIP. Dan sepertinya saya tidak perlu mengulas hal tersebut di sini,” potong Eko Hand sambil bergelak tawa dengan awak media Jogja Expost.
Narasi-narasi Ki Supriyadi Sapta Atmadja direspon dengan padu gerakan wayang Buto Angkoro dan kepergian Shang Garuda Yaksa oleh Ki Hangno Hartono. Langkah-langkah kecil Ki Hangno menelusuri panggung dengan gerak semesta tubuhnya.
“Saat saya memutar kembali rekaman video live youtube panitia, nampak sekali ki Hangno Hartono sangat menghayati alunan musik dan konstruksi narasi tersebut,” ucap Eko Hand kepada awak media yang sedang mewawancarainya.
Ki Iwan Wijono saat performace mengerek bendera Merah Putih dan penonton saat berebut mengambil uang receh sebanyak 150 ribu.
Suasana sakral semakin terasa ketika Iwan Wijono mencabut keris yang pada awal performance ditancapkannya ke tanah. Kemudian Iwan Wijono menggigit kerisnya, kedua tangannya meraih tali yang sudah terpasang pada tiang bendera (properti perfomance art) dan mengerek keranjang anyaman bambu yang di isi dengan bunga dan uang koin yang sangat banyak (senilai Rp 150.000). Iwan Wijono terus mengerek keranjang tersebut naik sampai tepat di bawah bendera merah putih.
Lalu dihentak-hentakkanya tali yang terhubung dengan keranjang itu hingga bunga dan uang koin terhambur keluar dan jatuh ke tanah, lalu uang-uang koin itu diperebutkan oleh penonton yang hadir. Ini adalah sebuah konstruksi bahwa ada bendera merah putih berkibar diatas, adala ilustrasi buto angkoro dan lesunya Garuda Yaksa. Mantra pencerahan sukma, jiwa, pikiran dan raga.
Kemudian pusaka (dicabut dari tanah dan di gigit), lalu bunga dan uang koin yang berhamburan ke tanah yang diperebutkan penonton. Adalah harapan kepada Sang Merah Putih dalam konsep bendera kebesaran bangsa Indonesia yang gagah berani akan membawa dampak pencerahan sukma, jiwa, pikiran dan panca indra setiap warga negara Indonesia. Sebuah keyakinan bahwa Merah Putih akan memberkahi, memakmurkan dan mensejahterakan negara, bangsa dan setiap warga negaranya.
“Pusaran diatas tenda semakin jelas, tegas dan meluas lalu berpendar menjadi percikan cahaya tak beraturan merasuk ke setiap raga.
Byar padang trawangan
Jagate manungsa sak buwana padang trawangan
Jagate manungsa sabuwana padang trawangan
Padang kahane, padang rasane, padang karepe, padang akale
Padang pancadriyane
Rahayu
Rahayu
Rahayu
Rahayu hajroning buwana
Rahayu hajroning jagat traya” pungkas Eko Hand mengakhiri wawancara dengan mengutip mantra terakhir dalam performance yang baru saja dilakukannya.
Editor: Mukhlisin Mustofa/Red
Suasana sakral semakin terasa ketika Iwan Wijono mencabut keris yang pada awal performance ditancapkannya ke tanah. Kemudian Iwan Wijono menggigit kerisnya, kedua tangannya meraih tali yang sudah terpasang pada tiang bendera (properti perfomance art) dan mengerek keranjang anyaman bambu yang di isi dengan bunga dan uang koin yang sangat banyak (senilai Rp 150.000). Iwan Wijono terus mengerek keranjang tersebut naik sampai tepat di bawah bendera merah putih.
Lalu dihentak-hentakkanya tali yang terhubung dengan keranjang itu hingga bunga dan uang koin terhambur keluar dan jatuh ke tanah, lalu uang-uang koin itu diperebutkan oleh penonton yang hadir. Ini adalah sebuah konstruksi bahwa ada bendera merah putih berkibar diatas, adala ilustrasi buto angkoro dan lesunya Garuda Yaksa. Mantra pencerahan sukma, jiwa, pikiran dan raga.
Kemudian pusaka (dicabut dari tanah dan di gigit), lalu bunga dan uang koin yang berhamburan ke tanah yang diperebutkan penonton. Adalah harapan kepada Sang Merah Putih dalam konsep bendera kebesaran bangsa Indonesia yang gagah berani akan membawa dampak pencerahan sukma, jiwa, pikiran dan panca indra setiap warga negara Indonesia. Sebuah keyakinan bahwa Merah Putih akan memberkahi, memakmurkan dan mensejahterakan negara, bangsa dan setiap warga negaranya.
“Pusaran diatas tenda semakin jelas, tegas dan meluas lalu berpendar menjadi percikan cahaya tak beraturan merasuk ke setiap raga.
Byar padang trawangan
Jagate manungsa sak buwana padang trawangan
Jagate manungsa sabuwana padang trawangan
Padang kahane, padang rasane, padang karepe, padang akale
Padang pancadriyane
Rahayu
Rahayu
Rahayu
Rahayu hajroning buwana
Rahayu hajroning jagat traya” pungkas Eko Hand mengakhiri wawancara dengan mengutip mantra terakhir dalam performance yang baru saja dilakukannya.
Editor: Mukhlisin Mustofa/Red
Social Header