YOGYAKARTA, jogja.expost.co.id – Meski daya beli masyarakat tengah menurun, Yogyakarta masih menjadi magnet utama pariwisata Indonesia. Ketua Dewan Penasehat Kadin DIY, Tazbir Abdullah, mengatakan bahwa kekuatan Yogyakarta sebagai destinasi wisata terletak pada kekayaan budaya dan ikon-ikonnya yang sudah mendunia, seperti Malioboro.
“Jogja ini punya dua angle—domestik dan internasional. Malioboro dan ikon-ikon lainnya menjadikan kota ini sebagai destinasi sejati,” ujar Tazbir, saat ditemui di Narasa Resto & Caffe, Banguntapan, Senin (21/4/2025) siang.
Namun, ia mengakui bahwa meski jumlah kunjungan wisatawan masih tinggi, tren pembelian produk oleh wisatawan cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Kuncinya sekarang adalah kekompakan. Pemerintah dan pelaku industri harus jalan bareng. Hotel harus tahu peran masing-masing, pelaku wisata harus saling dukung. Jogja itu ikon, dan tidak akan jatuh terlalu dalam kalau kita solid,” tegasnya.
Ketua Dewan Penasehat Kadin DIY, Tazbir Abdullah, di tempat usahanya Narasa Resto & Caffe, Banguntapan Bantul.
Tazbir juga menyoroti pentingnya promosi digital, termasuk peran media sosial yang kini semakin dominan. Menurutnya, hotel-hotel besar pun mulai beralih ke pendekatan promosi yang lebih strategis dan menjangkau pasar yang lebih luas secara daring.
Tak hanya itu, sektor seni rupa juga dinilainya punya potensi besar. “Banyak pameran seni digelar, tapi apakah sudah terhubung dengan ekosistem pariwisata? Apakah tamu hotel diajak ke galeri dan membeli karya seni?,” ujarnya penuh harap.
Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemandu wisata, galeri seni, dan pelaku pariwisata untuk menjembatani wisatawan dengan kekayaan budaya lokal. “Pemerintah perlu mendukung dengan kebijakan, tapi jangan menunggu. Semua pihak harus bergerak.
Sementara itu, Agus Budi Rahman, pemerhati pariwisata, menyoroti sisi lain dari geliat pariwisata dan pembangunan Yogyakarta. Ia melihat bahwa di balik gemerlap kota, terdapat keresahan yang tak boleh diabaikan.
“Yogyakarta, kota yang dijuluki ‘istimewa’, nyaris tak pernah tidur. Tapi, di tengah lampu-lampu Malioboro dan angkringan yang mengepul, muncul pertanyaan: benarkah pemerintah dan industri berjalan seirama?,” katanya saat ditemui di sebuah kafe di Yogyakarta.
Menurut Agus, laju pembangunan yang pesat kerap tidak selaras dengan aspirasi masyarakat lokal. Ia menyoroti menjamurnya hotel, gedung komersial, dan proyek-proyek besar yang tidak selalu berpihak pada rakyat kecil.
“Romantisme Yogyakarta yang ramah dan bersahaja kini berubah menjadi kegelisahan kolektif. Banyak warga merasa terpinggirkan dalam dinamika pembangunan,” ucapnya.
Identitas budaya Yogyakarta, tambahnya, mulai terkikis. Julukan “kota pelajar” pun terasa makin eksklusif, sulit dijangkau oleh kalangan berpenghasilan rendah. Sementara industri pariwisata dan properti tumbuh pesat, namun belum tentu sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat bawah.
“Kolaborasi antara pemerintah dan industri terlihat solid secara formal. Tapi pertanyaannya: ke mana arah pembangunan ini sebenarnya? Apakah semua pihak benar-benar satu visi, atau sekadar menari dalam irama kepentingan jangka pendek?,” tanya Agus.
Ia mengajak semua pihak untuk kembali membuka ruang dialog, melibatkan masyarakat secara aktif, dan menjadikan pembangunan sebagai proses bersama.
“Yogyakarta harus bisa mencintai kemajuan tanpa mengorbankan jati dirinya. Keistimewaan sejati lahir dari keberanian untuk bertanya, berdialog, dan berjalan bersama,” pungkas Agus. (Tyo)
Editor: Mukhlisin Mustofa/Red
Social Header