Founder & Managing Director Loman Park Hotel Handono S. Putro usai berbincang santai dengan Pemerhati Wisata Agus Budi Rahman.
YOGYAKARTA, jogja.expost.co.id — Di tengah bangkitnya industri pariwisata di Yogyakarta, pelaku wisata di Yogyakarta berlomba menghadirkan pengalaman tak sekadar menghibur, tetapi juga menyentuh sisi emosional dan kultural para pengunjung. Salah satunya adalah Loman Park Hotel, yang menyuguhkan konsep pelayanan dengan sentuhan budaya Jawa yang otentik.
“Keramahan adalah DNA Jogja yang kami hadirkan sepenuh hati di Loman Park,” ujar Handono, Founder sekaligus Managing Director Loman Park Hotel saat ditemui, Sabtu (03/05/2025) di Loman Park Hotel Yogyakarta.
Menurutnya, pendekatan yang mengedepankan nilai-nilai budaya dan pelayanan personal menjadi kunci untuk menciptakan loyalitas tamu, khususnya wisatawan mancanegara.
Begitu tiba di hotel yang terletak strategis di tengah kota ini, tamu disambut dengan senyum tulus staf dan pertunjukan tari tradisional. Suasana tersebut, kata Handono, adalah cara pihaknya membangun kesan pertama yang mendalam bagi setiap pengunjung.
“Kami ingin mereka merasa seperti pulang ke rumah kedua,” ujar Handono S. Putro.
Tak hanya untuk pelancong, lanjut Handono, Loman Park juga membuka ruang bagi anak muda, termasuk mahasiswa baru dari luar daerah dan luar negeri yang datang untuk menempuh pendidikan di Jogja. Melalui kerja sama dengan beberapa universitas, hotel ini menyediakan paket hunian sementara yang nyaman dan sarat nilai budaya.
Sementara itu, pendekatan berbasis budaya dan edukasi juga digaungkan oleh para pemerhati pariwisata. Agus Budi Rahman, pengamat pariwisata edukatif di Yogyakarta, menilai bahwa kekuatan wisata Jogja justru terletak pada keberanian untuk kembali ke akar—ke kehidupan desa dan tradisi yang sarat makna.
“Anak-anak sekarang lebih mengenal nasi dari bungkus instan, bukan dari sawah. Mereka tahu ikan dari akuarium, bukan dari sungai. Pariwisata edukatif adalah cara kita menghubungkan kembali manusia dengan sumber kehidupannya,” ungkap Agus.
Menurutnya, konsep wisata yang mengajak wisatawan ikut menanam padi, menggiling kedelai, hingga memasak di dapur tradisional, bukan hanya menarik, tetapi membangkitkan kesadaran akan pentingnya hidup selaras dengan alam.
“Menyentuh lumpur itu bukan hal remeh. Justru di sana kita menyentuh sisi kemanusiaan yang selama ini terlupakan,” tambahnya.
Baik dari sisi industri perhotelan maupun wisata edukatif di desa, keduanya menunjukkan bahwa strategi pemasaran yang berakar pada budaya dan pengalaman nyata kini menjadi daya tarik utama. Bukan sekadar tempat berkunjung, Yogyakarta menjelma menjadi ruang pembelajaran, kehangatan, dan refleksi tentang jati diri dan nilai hidup.
"Dengan sentuhan personal dan ketulusan dalam menyambut tamu, pelaku wisata di Yogyakarta membuktikan bahwa inovasi bukan soal teknologi semata, tetapi juga tentang cara menyentuh hati dan meninggalkan kesan yang tak terlupakan," pungkas Agus. (Tyo)
Editor: Mukhlisin Mustofa/Red
Social Header