Agus Budi Rachman saat berbagi pengalaman dengan pengelola wisata di Pendopo Wisata Karst Tubing Sedayu, Jalan Wates Km 9, Surobayan, Argomulyo, Sedayu, Bantul.
BANTUL, jogja.expost.co.id – Wakil Ketua Objek Daya Tarik Wisata Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Agus Budi Rachman, menekankan pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai falsafah Jawa dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan. Hal ini disampaikan dalam forum diskusi pariwisata yang digelar, Rabu (4/5/2025) pagi di Pendopo Wisata Karst Tubing Sedayu, Jalan Wates Km 9, Surobayan, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Menurut Agus, pariwisata tidak seharusnya hanya dimaknai sebagai kegiatan hiburan semata, tetapi juga sebagai perjalanan makna yang melibatkan hubungan antara manusia, ruang, serta nilai-nilai budaya.
"Di Yogyakarta, sebagai pusat budaya dan spiritualitas, pariwisata seharusnya tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tapi juga menjaga kearifan lokal dan keseimbangan alam," ujarnya.
Seorang pemandu wisata kars tubing Sedayu tampak sedang menjelaskan SOP river tubing kepada wisatawan minat khusus.
Tiga Pilar Falsafah Jawa dalam Pariwisata
Agus menguraikan tiga nilai utama dalam falsafah Jawa yang dapat dijadikan dasar dalam membangun pariwisata berkelanjutan, khususnya bagi sektor usaha menengah hingga tinggi:
1. Sangkan Paraning Dumadi (Mengerti asal-usul dan tujuan hidup)
Falsafah ini menekankan pentingnya memahami asal-usul (sangkan) dan arah tujuan (paran) kehidupan. Dalam konteks pariwisata, ini berarti mengangkat budaya lokal dan sejarah sebagai landasan, serta menjadikan pariwisata sebagai sarana untuk memberikan manfaat spiritual, sosial, dan ekologis.
"Usaha wisata sebaiknya tidak hanya mengejar profit, tetapi juga membangun kesadaran dan manfaat bagi pengunjung maupun masyarakat," jelas Agus.
Ia mencontohkan desa wisata dan resort yang dapat menjadi tempat refleksi, pembelajaran sejarah, hingga pengenalan jati diri.
2. Memayu Hayuning Bawana (Menjaga keindahan dan keharmonisan dunia)
Nilai ini mengajarkan pentingnya hidup selaras dengan alam dan sesama manusia. Dalam praktik pariwisata, keberhasilan tidak diukur dari jumlah wisatawan, melainkan dari kualitas hubungan—antara pengunjung dengan warga lokal, serta manusia dengan alam.
Nilai ini mengajarkan pentingnya hidup selaras dengan alam dan sesama manusia. Dalam praktik pariwisata, keberhasilan tidak diukur dari jumlah wisatawan, melainkan dari kualitas hubungan—antara pengunjung dengan warga lokal, serta manusia dengan alam.
Agus menjelaskan penerapan desain ramah lingkungan, kegiatan pertanian organik, pelestarian sungai, hingga pelibatan masyarakat lokal sebagai pemandu budaya sebagai contoh nyata nilai ini.
Seorang wisatawan minat khusus tampak bersiap untuk meluncur di area ekstrim.
3. Sedulur Papat Kalima Pancer (Mengenal diri secara utuh: tubuh, energi, dan kesadaran)
Falsafah ini menggambarkan manusia sebagai makhluk spiritual yang memiliki empat "saudara batin"—air ketuban, ari-ari, darah, dan tali pusar—dengan pusat kesadaran (pancer) di tengahnya. Dalam pariwisata, hal ini bisa diwujudkan dalam pengalaman wisata holistik yang mencakup penyembuhan, ketenangan, dan refleksi spiritual.
"Pariwisata bisa menjadi ruang sakral melalui aktivitas seperti meditasi, ritual air, hingga pertunjukan seni tradisional seperti wayang dan sendratari," imbuhnya.
Agus menutup dengan ajakan agar pariwisata Yogyakarta tidak mengikuti sepenuhnya model industri global yang konsumtif dan serba cepat, melainkan tumbuh dari nilai-nilai budaya sendiri.
"Sangkan Paraning Dumadi memberi arah spiritual, Memayu Hayuning Bawana memberi panduan etis, dan Sedulur Papat Kalima Pancer memberi peta kesadaran. Jika ketiganya diterapkan, pariwisata bukan hanya berkelanjutan, tapi juga menyembuhkan—lingkungan, hubungan antarmanusia, dan makna kehidupan," papar Agus
"Wisata sejati bukanlah pelarian dari rumah, melainkan perjalanan kembali ke dalam diri sendiri," lanjut dan pungkas Agus. (Tyo)
Editor: Mukhlisin Mustofa/Red
Social Header