KOTA YOGYA, jogja.expost.co.id — Program Ngaji Filsafat: Ruang Kata Napas Cinta menjadi penutup hari kedua Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025, Kamis (31/7/2025), dalam suasana syahdu dan reflektif. Digelar pukul 19.30–21.30 WIB di Panggung Pasar Sastra, Grha Budaya Taman Budaya Embung Giwangan, sesi ini menghadirkan Fahruddin Faiz dan Robith Yusuf Efendi dalam perbincangan filsafat yang membumi dan menyentuh sisi terdalam pengalaman manusia.
Mengusung tema Ruang Kata Napas Cinta, diskusi menyatukan dimensi sastra dan filsafat dalam bingkai kehidupan sehari-hari. Ratusan peserta dari berbagai latar belakang memadati area pertunjukan, larut dalam suasana malam yang tenang, untuk menyelami bagaimana cinta, kata, dan kesadaran menjadi bagian dari vibrasi kehidupan.
Fahruddin Faiz membuka sesi dengan membahas relasi antara cinta, kata, dan makna. Ia menyampaikan bahwa setiap kata yang keluar dari manusia berjalan melalui tiga jalur: olah biasa, olah akal, dan olah rasa.
“Makna bisa masuk jika frekuensi kita sama, karena rasa ikut bermain. Saat kita berbicara dan lawan bicara memahami, itu bukan sekadar akal, tapi juga rasa. Kata-kata bisa menjelma menjadi mantra; tulisan menjadi berdaya karena mampu menggerakkan seseorang,” ujar Faiz.
Moderator Robith Yusuf Efendi kemudian menggali lebih jauh tentang bagaimana manusia dapat melindungi diri dari kekuatan negatif kata. Menanggapi hal itu, Faiz menjelaskan bahwa setiap kata yang masuk ke dalam diri kita akan mengalami proses resepsi—penyerapan, penelaahan, dan perenungan.
“Di situlah terjadi pertukaran energi. Kita harus menyaring, mengolah, dan memeriksa kembali kata yang datang. Di sinilah resepsi yang cerdas bekerja—menggunakan akal sebagai penangkal untuk melindungi diri dari kata-kata negatif,” terang Faiz.
Ia menegaskan kembali pentingnya harmonisasi antara olah biasa, olah akal, dan olah rasa, agar kata menjelma menjadi kekuatan penyembuh yang membentuk kesadaran.
Sesi tanya jawab berlangsung hangat. Claudio, seorang pengunjung dari Yogyakarta, menyampaikan keresahannya tentang fluktuasi spiritual dalam hidup. Ia mengakui bahwa iman sering naik turun, dan bahwa menerima kenyataan tersebut adalah bagian dari perjalanan mencintai Tuhan.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Faiz menjelaskan tentang tiga bentuk cinta dalam filsafat Yunani: eros (cinta karena hasrat), philia (cinta sebagai persahabatan), dan agape (cinta tanpa syarat atau cinta ilahiah). Ia menegaskan bahwa cinta Tuhan bersifat tidak bersyarat.
“Yakinlah, dalam kondisi apa pun, Tuhan tetap mencintai. Justru pengakuan bahwa kita masih banyak kekurangan adalah awal dari cinta yang sejati,” tuturnya menutup sesi dalam suasana hening yang penuh perenungan.
Kepala Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Ismawati Retno, menilai bahwa sesi ini merupakan bentuk literasi batin yang penting untuk diperkuat dalam ekosistem sastra hari ini.
“Festival ini tidak hanya mengajak kita membaca teks, tetapi juga membaca kehidupan. Literasi bukan semata kemampuan mengenali huruf, melainkan juga kesanggupan menyaring makna dan menyelami ke dalam diri,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kata memiliki daya yang bisa menyembuhkan ataupun menyakiti—semua tergantung bagaimana manusia memprosesnya.
“Ketika kata diproses lewat harmoni antara akal dan rasa, ia bisa menjadi kekuatan yang menenangkan dan membentuk kesadaran. Ngaji Filsafat malam ini memberi ruang bagi kita untuk kembali pada inti—bahwa kata dan cinta dapat menjadi jalan pulang menuju diri yang lebih utuh dan tenang,” ujar Ismawati.
Dengan pendekatan sederhana namun mendalam, Ngaji Filsafat menunjukkan bahwa filsafat bukanlah sesuatu yang jauh atau elitis. Ia hadir dalam keseharian, melalui kata, cinta, dan kesadaran akan keberadaan.
Festival Sastra Yogyakarta 2025 menutup hari keduanya bukan dengan kemeriahan, melainkan dengan keheningan yang bermakna—menegaskan bahwa sastra dan filsafat dapat berjalan berdampingan dalam merawat batin dan memperkaya jiwa manusia. (Hpk/Mbah M)
Editor: Mukhlisin Mustofa/Red
Social Header