YOGYAKARTA, jogja.expost.co.id - Di tengah kepungan senyap Kota Yogyakarta pada masa Agresi Militer II, ada satu rumah kecil yang asapnya tak pernah berhenti menanjak ke langit. Dari kejauhan, ia terlihat seperti dapur biasa, tetapi bagi para pejuang republik, rumah itu adalah oase, pusat energi, dan diam-diam menjadi bagian dari denyut operasi militer.
Rumah di Yudonegaran itu milik seorang perempuan yang namanya tak tercatat dalam banyak buku sejarah resmi, tetapi kisahnya berkelindan dengan setiap kehidupan pasukan yang bergerilya di sekitar kota. Ia adalah Khusna, istri Ruswo Prawiroseno. Masyarakat mengenalnya sebagai Ibu Ruswo.
Dalam perang yang serba laki-laki, perempuan itu memikul peran yang tak kalah berani. Bukan di medan tembak, tetapi di garis rapuh tempat kehidupan memilih untuk bertahan.
Jejak yang Senyap dari Khusna Menjadi Sosok Penggerak
Ibu Ruswo lahir pada 1905, masa ketika perempuan Jawa rata-rata berhenti sekolah setelah bisa membaca dan berhitung. Ia menyelesaikan pendidikan hanya sampai kelas dua, tetapi kecerdasannya bergerak di ruang lain seperti organisasi, jaringan sosial, dan kepedulian.
Sejak muda ia aktif di Istri Indonesia, lalu di Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan P4A (Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak), organisasi perempuan yang progresif pada masa kolonial. (Sumber: Jantra, Balai Pelestarian Nilai Budaya DIY, 2006).
Kehidupannya seolah sedang disiapkan menuju panggilan yang lebih besar. Ketika Republik lahir dan bergolak, pengalaman organisasi itulah yang menjadikannya tidak sekadar saksi, melainkan pelaku sejarah.
Dapur Perang Adalah Tempat Kesetiaan Diuji
Ketika Yogyakarta menjadi pusat republik, Ibu Ruswo dan suaminya menjadikan rumah mereka sebagai dapur umum pasukan gerilya. Tak ada komando resmi. Tak ada dana dari negara. Yang ada hanya kebutuhan: para pejuang harus makan.
Setiap pagi, Ibu Ruswo memimpin barisan ibu-ibu menyalakan tungku. Mereka memasak nasi, sayur bening, tempe, atas bahan-bahan yang mereka kumpulkan dengan berbagai cara: menukar kain jarit, menjual perhiasan, bahkan meminjam dari tetangga yang sama miskinnya.
Di dapur itu, aroma kayu bakar bercampur harapan. Asap yang keluar bukan sekadar pertanda makanan siap, tetapi pertanda bahwa republik masih hidup.
“Kalau mereka tidak makan, bagaimana mereka berperang?”
(Testimoni warga Yudonegaran, dikutip Liputan6, 2024).
Setiap hari, puluhan hingga ratusan bungkus makanan berangkat dari dapur itu menuju garis-garis gerilya di Kota, Magelang, Ambarawa, hingga Semarang.
Kurir Rahasia Itu Adalah Perempuan yang Mengayuh Pesan Kemerdekaan
Peran Ibu Ruswo tidak berhenti di dapur. Ia juga menjadi kurir rahasia salah satu pekerjaan paling berisiko pada masa perang.
Surat-surat, peta, hingga instruksi militer diselipkan ke dalam pipa stang sepeda. Ibu Ruswo mengayuhnya melewati pos-pos Belanda, menyamar sebagai ibu rumah tangga biasa yang hendak membeli sayur.
Dalam sebuah wawancara yang dihimpun peneliti Universitas Negeri Yogyakarta, para pejuang menyebut keberanian Ibu Ruswo “tak kalah dengan tentara bersenjata”. (Sumber: Jurnal Risalah UNY, 2017).
Kadang, ia juga mengirim rokok buatan tangan dengan bungkus koran, diisi tembakau atau kelembak yang menjadi pelipur bagi pasukan gerilya. (Sumber: Mojok.co).
Di tengah malam sunyi, roda sepedanya menyentuh jalan yang sama dengan jejak-jejak senjata. Hanya satu pegangan yang ia punya, bahwa perjuangan membutuhkan lebih banyak dari sekadar peluru.
Ketika Yogyakarta diduduki sepenuhnya oleh Belanda, dapur Ibu Ruswo justru semakin sibuk. Persiapan operasi besar yang kelak dikenal sebagai Serangan Oemoem 1 Maret 1949 membutuhkan logistik yang tak sedikit.
Dapur Yudonegaran menjadi salah satu simpul utama. Para anggota TNI yang lalu-lalang di rumah itu masih mengingat bagaimana Ibu Ruswo membagi makanan sambil berkata “Makan dulu. Kuatkan hati. Kalau kalian mundur, kami perempuan mau bersandar ke siapa?” (Testimoni lisan yang dihimpun KRJogja.com).
Makanan, kata para sejarawan, sering kali diremehkan dalam kajian perang. Namun tanpa logistik yang stabil, tidak ada strategi yang bisa berjalan mulus. Peran Ibu Ruswo dan para perempuan dapur umum itu adalah “urat nadi” gerilya—diam-diam menentukan.
Meski bekerja tanpa pangkat dan tanpa sorotan, kontribusi Ibu Ruswo akhirnya mendapat penghargaan resmi:
- Piagam Penghargaan Divisi III Diponegoro (Magelang, 25 Mei 1947).
-Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno. (Sumber: Liputan6; Budaya Jogja)
Namun penghargaan sebenarnya adalah warisannya, sebuah nama jalan di pusat Kota Yogyakarta "Jalan Ibu Ruswo" tempat dapur perjuangan itu dulu berdiri. (Sumber: Radar Jogja, 2024).
Bukan jalan besar, bukan pula monumen megah. Hanya lorong sederhana yang mengabadikan seorang perempuan yang memilih bekerja dalam senyap. (Mbah M)
Daftar Sumber:
1. Liputan6.com – “Ibu Ruswo, Pahlawan Logistik dari Yogyakarta” (2024).
2. Jantra – Balai Pelestarian Nilai Budaya DIY, Vol. I No.2 (2006).
3. KRJogja.com – “Serangan Oemoem dan Kepahlawanan Ibu Ruswo”.
4. Mojok.co – “7 Fakta Ibu Ruswo, Kurir Rahasia yang Memasok Rokok untuk Pejuang”.
5. Jurnal Risalah UNY, 2017 – Studi Peran Sosial Ibu Ruswo.
6. Radar Jogja, “Rumah Ibu Ruswo Sebagai Dapur Umum Saat Perang Kemerdekaan”.
Editor : Mukhlisin Mustofa/Red


Social Header